Sabtu, 09 November 2013

BAB 9
MISI PADA AWAL ZAMAN PENCERAHAN

KONTUR-KONTUR PANDANGAN DUNIA PENCERAHAN
Izinkanlah saya sekarang berusaha dalam beberapa alinea saja dan karenanya, sekali lagi, mengambil risiko terlalu menyederhanakan untuk menggambarkan kontur-kontur paradigm Pencerahan sebelum melangkah lebih lanjut untuk membicarakan dampaknya terhadap pemahaman tentang misi Kristen. Unsur-unsur yang saya identifikasikan sesungguhnya tidak boleh dibahas secara terpisah karena mereka semuanya saling bertabrakan. Kendatipun demikian saya (dalam gaya pencerahan sejati!) akan membahasnya satu persatu. Pencerahan, terutama sekali, adalah Zaman penalaran. Di kemudian hari ucapan Descartes, Cogito, ergo sum, akhirnya berarti bahwa pikiran manusia dianggap sebagai titik tolak yang pasti untuk segala pengetahuan.  Penalaran manusia itu “alamiah”, artinya, diperoleh dari tatanan alam dan oleh karenanya bebas dari segala norma tradisi ataupun praduga. Penalaran mewakili suatu warisan yang dimiliki tidak hanya oleh “orang-orang percaya” melainkan juga semua orang merata.
Kedua, Pencerahan bekerja dengan skema subyek obyek. Ini berarti bahwa ia memisahkan manusia dari lingkungannya dan memampukannya untuk meneliti dunia binatang dan mineral dari sudut pandangan obyektivitas ilmiah. Hingga pada akhirnya, Pencerahan menganggap manusia sebagai individu yang dibebaskan dan otonom. Pada Abad Pertengahan, paguyuban diutamakan lebih daripada individu, meskipun, seperti yang telah saya katakana di atas, tekanan pada individu dapat ditemukan dalam teologi Barat sekurang-kurangnya sejak masa Augustinus.
Kredo utama Pencerahan adalah iman kepada manusia. Kemajuannya dijamin oleh persaingan bebas antar manusia yang mengejar kebahagiannya. Manusia yang bebas dan “alamiah” dapat disempurnakan tanpa batas dan harus diizinkan berkembang mengikuti garis-garis pilihannya sendiri. Jadi, sejak permulaan sekali pemikiran liberal ada kecenderungan ke arah kebebasan yang semaunya.
Individu mengalami dirinya dibebaskan dari perwalian Allah dan gereja, yang tidak lagi dibutuhkan untuk melegitimasikan gelar-gelar, kelas-kelas dan hak-hak istimewa tertentu. Pada prinsipnya, tidak perlu lagi ada orang-orang dan kelas-kelas istimewa. Semua orang dilahirkan sama dan memiliki hak-hak yang sama pula.


PENCERAHAN DAN IMAN KRISTEN
Akibat logis dari pembelajaran ini ialah bahwa kekristenan disederhanakan menjadi sebuah provinsi dari sebuah kerajaan yang luas dari agama. Berbagai agama semata-mata mewakili nilai-nilai yang berbeda-beda; masing-masing adalah bagian dari mosaik yang besar. Adapun, ajaran pencerahan bahwa semua masalah pada prinsipnya dapat dipecahkan mempunyai dampak yang sama luasnya terhadap teologi dan gereja. Dogma ini menolak mujizat dan setiap bentuk peristiwa yang tidak dapat diterangkan lainnya.
Dalam mempercakapkan pengaruh paradigma Pencerahan terhadap kehidupan manusia secara keseluruhan, bukan hanya kehidupan keagamaan, sudah tentu juga penting kita menyadari bahwa pandangan terhadap realitas ini tidak tetap tak berubah dan tidak ditantang pada abad-abad belakangan ini. Pencerahan telah menciptakan masalah-masalah baru yang tidak pernah ada sebelumnya, yang kebanyakkan baru saja mulai kita sadari pada sekitar dua dekade terakhir ini.

MISI DI DALAM CERMINAN PENCERAHAN
Gereja dan Negara
Di daratan Eropa peristiwa-peristiwanya berkembang dengan cara yang berbeda. Di sana pemisahan final antara Negara dan gereja terjadi satu abad belakangan setelah di inggris, namun ketika hal itu terjadi, konsekuensi-konsekuensinya jauh lebih luas. Revolusi Perancis pada 1789 adalah contoh yang paling terkenal tentang perkembangan ini, namun kejadian-kejadian serupa, meskipun kurang begitu keras, berlangsung di Belanda dan di tempat-tempat lain. Gagasan –gagsan pencerahan, yang telah lebih dari satu abad dikungkung, meledak ke panggung dan mengubah seluruh wajah Eropa dalam sepuluh atau dua puluh tahun.
Pemisahan antara yang “sekuler” dan yang “keagamaan” khususnya menonjol dalam kasus pietisme. Pietisme hanya dapat bertahan dengan menarik diri ke kepompong rohani dan meninggalkan dunia di luar jangkauan pelayanannya. Tekanan ini segera dialami oleh para misionaris di Transquebar agar memusatkan perhatian mereka hanya pada jiwa-jiwa orang india.
Kekuatan-kekuatan Pembaruan
Penilaian Robert  E Thompson (yang di kutip dalam chaney 1976:49 dan 1977:20) bahwa kebangkitan besar  “mengakhiri zaman puritan dan memulai zaman pietis atau metodis dalam sejarah gereja amerika”, meskipun cukup sahih, hanyalah benar secara sepihak barangkali lebih tepat bila kita menggambarkannya sebagai campuran antara puritanisme dan pietisme yang di giling bersama-sama dalam belanga evolusi pikiran Amerika (Allan Heimert, acuan dalam chaney 1977:20). Gerakan ini juga mewakili , dalam istilah Niebuh:; pergeseran dari penekanan utama pada kemahakuasaan Allah kepada kasih karunia Allah (1959:88-126).
Namun kebangkitan yang pertama tidak secara langsung melahirkan kegiatan kegiatan misioner, meskipun gerakan itu toh meletakan dasar-dasarnya.
Pada sekitar masa pemberitaan kebangkitan kembali Edwars di New England, pada 1735, John Wesley (1703-1791) dan adiknya Charles (1707-1788) di utus ke Georgia oleh SPG. Mereka tampaknya belum mempunyai hubungan dengan gerakan kebangkitan; lebih tepatnya, pembaruan spiritual yang di alami kedua Wesley bersaudara itu di hasilkan oleh hubungungan-hubungan mereka dengan orang-orang Moravia. Sejak 1735 mereka, bersama dengan George Whitefield, mengadakan kebaktian-kebaktian kebangunan di Inggris. Dari sini berkembanglah suatu dominasi baru, metodisme. Lebih jelas dari pada kebangkitan besar di koloni-koloni Amerika, Metodisme menyingkapkan pengaruh pencerahan.
Kebangkitan Kedua
Terutama sekali, suasana (mood) yang baru ini melahirkan semangat misioner. Pada tahun 1817 usaha misioner telah menjadi semangat besar gereja-gereja Amerika (chaney 1977:174). Memang, “misi-misi asing telah menjadi ortodoksi yang baru “ (J.A. Andrew, dikutip oleh Hutchison 1987:60).
Keadaannya tidak begitu berbeda di Inggris. Slogan carey yang terkenal, “harapkanlah hal-hal besar dari Allah, usahakanlah hal-hal besar untuk Allah!” mengungkapkan dengan baik semangat yang berlaku saat itu dan nyaris dapat di sangsikan bahwa pencerahan telah memperkuat semangat ini dan menolong membawa seluruh dunia ke dalam jangkauan injil. Tepat sebelum masa yang di bicarakan ini, James Cook telah mengelilingi dunia. Kisahnya di baca secara luas dan ikut memperluas cakrawala orang khususnya Carey. Banyak yang percaya bahwa, melalui penjelajahan-penjelajahan Cook dan lain-lainnya (yang kini adalah usaha-usaha murni sekular dan perdagangan dan tidak lagi terkait erat dengan gereja dan prnyebaran injil) Allah dalam pemeliharaannya membuka jalan untuk misi juga.
Salah satu produk yang paling menonjol dari kebangkitan injil, baik di inggris maupun di Amerika Utara (dan malah juga di daratan eropa dan koloni-koloni Inggris) adalah pembentukan perhimpunan-perhimpunan yang secara khusus di maksudkan untuk misi luar negeri. Saya akan kepada makna teologis dan misiologis dari perhimpunan-perhimpunan ini.
Abad Kesembilanbelas
Pada dekade keempat dari abad ke-19, dampak Kebangkitan Besar Kedua mulai pudar. Namun, suatu periode kebangkitan lainnya, kali ini dibawah pimpinan Charles G. Finey yang handal (1792-1875), semata-mata berfungsi menekankan kenyataan bahwa kebangkitan-kebangkitan tampaknya tidak ditakdirkan untuk bertahan lama; mereka semuanya kehabisan bensin dan harus dihidupkan kembali. Keunikkan pengalaman pembaruan, yang masih terasa dalam dua kebangkitan yang pertama, telah lenyap. Kebangkitan atau “revival”, istilah yang semakin sering dipergunakan menjadi rutin. Mereka merosot menjadi suatu tekhnik untuk mempertahankan Amerika yang Kristen; mereka menjadi “cangkul ilahi yanga gung, untuk menjaga agar taman tetap bersih” (Chaney 1976;295).
Namun, di permukaan kehidupan gereja “arus utama” di Amerika Serikat, meskipun terjadi jurang yang kian melebar antara Utara dan Selatan yang disebabkan oleh persoalan perbudakan, secara teologis masih bersifat monolit. Pengalaman traumatis perang saudara (1862-1865) kelak mengubah semua itu. Lenyapnya kebencian tidak mengantarkan suatu zaman keemasan pemerintahan kebenaran seperti yang diramalkan oleh sebagian orang. Kesatuan injili yang di tempa oleh Kebangkitan-kebangkitan tersebut suatu evangelikalisme di mana “komitmen terhadap pembaruan sosial merupakan sesuatu yang sejajar dengan entusiasme yang diwarisi untuk revival” (Mersden 1980: 12) segera akan berantakan; “sungai evangelikalisme klasik yang luas terpecah menjadi sebuah delta, dengan anak sungai yang lebih dangkal yang menekankan ekumenisme dan pembaruan sosial di sebelah kiri dan ortodoksi konfesional dan evangelikalisme di sebelah kanan” (Lovelace 1981:298). Pada awal abad ke-20 yang pertama telah berkembang menjadi Injil Sosial, yang kedua menjadi Fundamentalisme.
Abad Keduapuluh
Pada dekade pertama abad ke-20, transisi dari pasca milenialisme Hervormd kepada injil sosial telah menjadi paripurna. Dosa kini di identifikasikan dengan kebodohan dan orang percaya bahwa pengetahuan dan belas kasihan akan menghasilkan perbaikan sementara manusia bangkit untuk mencapai potensi-potensi mereka.
Cabang lain dari Protestantisme “arus utama” Amerika Utara tetap berpegang pada unsur-unsur adikodrati dari iman Kristen. Guna mempertahankannya, cabang ini semakin berpaling pra-milenialisme. Peralihan ini bukannya tidak berhubungan dengan semangat psikologis pada masa itu. Kehancuran akibat perang saudara dan berbagai persoalan yang ditinggalkannya melahirkan perasaan kehilangan harapan di banyak kalangan. Banyak orang Kristen yang tidak ikut berpegang pada optimism dan pemikiran yang berorientasi pada kemajuan dari kaum “liberal”. Hanya kedatangan kembali Kristus dalam kemuliaan yang dapat benar-benar mengubah kondisi-kondisi secara dasariah dan kekal. Sebelum hal itu terjadi, dunia terkutuk untuk menjadi semakin parah; yang terbaik yang dapat diharapkan orang adalah menahan sedikit dari kuasa jahat itu yang tampaknya terus menyebar seperti api di padang rumput. Dalam kalangan ini, penginjilan mendapatkan prioritas tertinggi; orang semakin menghindarkan diri praktis dari segala bentuk keterlibatan sosial.
POLA-POLA MISIONER PADA ERA PENCERAHAN
Saya tidak akan berusaha melakukan pembahasan yang tuntas, tetapi semta-mata berusaha memperlihatkan bagaimana pola-pola misioner sejak abad ke-18 berhubungan dengan pola-pola sebelumnya. Dalam penelaan saya, saya akan memberikan lebih banyak perhatian kepada pola-pola di dunia berbahasa inggris daripada yang ada di daratan Eropa. Alasannya ada dua. Pertama, adalah suatu fakta sejarah bahwa pada dua abad yang lalu dunia berbahasa inggris telah memberikan lebih banyak misionaris non-Katolik Roma dibandingkan dengan kelompok manapun juga (Neill 1966a-261). Kenyataan ini saja membuat studi tentang misi-misi dari Negara-negara berbahasa inggris suatu prioritas yang tinggi. Mengapa, setelah benua Eropa tampaknya telah memimpin dalam abad ke-18, pasang naiknya berubah dengan demikian dramatis menjelang akhir abad tersebut? Kedua, unsure-unsur pembentuk misi-misi yang muncul dari dunia berbahasa inggris lebih di teliti secara lebih luas daripada yang lainnya.
Kemuliaan Allah
Sebaliknya, dalam periode yang kita telaah di sini, bertumbuhlah kesadaran bahwa inisiatif Allah tidak menghapuskan usaha manusia dan bahwa keagungan Allah sesungguhnya adalah sisi lain dari kasih karunia dan kasih-Nya yang menjangkau kepada umat manusia. Jadi, pada awal Kebangkitan Besar, pola kemuliaan Allah jadinya di kawinkan dengan pola-pola lain, khususnya pola belas kasih. Namun, begitu, bahkan di mana kemuliaan Allah tidak disebutkan secara jelas, ia tetap merupakan pola latar yang tersembunyi praktis di seluruh abad  ke-18.
Pada masa berikutnya pola ini mulai memudar. Kemundurannya yang bertahap, sampai batas yang berrati, dihubungkan dengan pengaruh Pencerahan. Cita-cita teokratis dan pemahaman tentang kemuliaan Allah hanya dapat bekerja di dalam konteks suatu teologi yang sangat sadar akan kesatuan kehidupan dan kekuasaan kerajaan Kristus atas seluruh bidang  kehidupan (Van den Berg 1956:185). Pencerahan menmpatkan manusia dan bukan Allah di pusatnya; semua realitas harus dibentuk kembali sesuai dengan mimpi-mimpi dan rancangan manusia.
“Kasih Yesus yang Menguasai kami”?
Kadang-kadang motif kasih dan dedikasi total ini bercampur dengan motif lainnya yakni asketisisme. Dalam bab 7 saya mengatakan bahwa banyak dari asketisime gerakan misioner tidak secara langsung berkaitan dengan misi; sang biarawan bermaksud untuk menyelamatkan nyawanya sendiri dan untuk mencapai mkasud tersebut, ia akan mmeulai sebuah biara namun, biara ini pelan-pelan dan hamper secara kebetulan, akan berkembang menjadi sebuah pusat misi. Kadang-kadang penekanan pada penyangkalan diri mengambil bentuk jasa-jasa perbuatan amal; suatu kehidupan penuh dengan pengorbanan dalam misi tentu akan membuat sang misionaris lebih diterima di mata Allah! Seperti halnya para misionaris Katolik, misionaris protestan tidak selamanya bebas dari perasaan ini. John dan Charles Wesley, misalnya, pertama-tama pergi ke orang-orang Indian di Georgia dengan keyakinan bahwa karya maha hebat dan sendirian di antar orang-orang primitif ini akan menolong kedua Wesley bersaudara itu sendiri untuk mencapai kesucian dan kebenaran (rightheousness) sejati. Namun, ini hanyalah suatu tahap sementara dalam hidup mereka. Keabsahan sikap mereka terletak di dalam keyakinan mereka bahwa karya misi tidak mungkin dilakukan tanpa unsur pengorbanan, penyangkalan diri dan kesiapan untuk menderita demi Kristus.
Injil dan Kebudayaan
Seperti halnya dengan agama Barat ditakdirkan untuk disebarkan di seluurh dunia, demikian pula kebudayaan Barat ditakdirkan untuk unggul terhadap semua kebudayaan lainnya. Satu setengah abad yang lalu, G. W. F. Hegel mengemukakan pendapatnya bahwa sejarah dunia berpindah dari Timur ke Barat, dari “masa kanak-kanak” di Cina, melalui India, Persia, Yunani, dan Roma ke “masa kedewasaan” di Eropa Barat. Ia menyimpulkan, “Eropa adalah tujuan mutlak sejarah, seperti halnya Asia adalah permulaannya” (1975-197). Pemahahaman tentang “Perjalana sejarah dunia” ini (124-151) atau tentang “basis geografis dari sejarah dunia” (152-196) dikemukakan dengan kesungguhan yang penuh dan sama sekali tanpa rasa takut apapun akan kontradiksi; hal ini seharusnya jelas bagi setiap orang yang mempunyai mata untuk melihat. Kendatipun demikian, Hegel berusaha untuk mempertahankan perasaan keadilan (fairness), dan dengan sangat terinci menelaah benua-benua satu demi satu, mempertimbangkan kebudayaan (ketiadannnya: “Chili dan Peru adalah wilayah-wilayah pantai yang sempit, dan mereka tidak mempunyai kebudayaan sendiri”. “Afrika digambarkan dengan sensualitas yang padat, kehendak yang segera, kekakuan yang mutlak, dan ketidakmampuan untuk berkembang “ dan dalam terang temuan-temuannya yang “obyektif”, ia membuktikan keunggulan Barat yang tidak diragukan dan yang terbukti dengan sendirinya.
Misi dan Takdir yang Pasti
Menoleh ke belakang ke keseluruhan fenomena “takdir yang pasti” dan miis, di Amerika Utara dan tempat-tempat lainnya, orang harus mewaspadai deduksi-deduksi yang gampangan. Baik mereka yang menekankan (seperti yang masih dilakukan oleh sejumlah apology misi) bahwa pemantikan api misioner itu murni bersifat religious, dan mereka yang, dengan alasan apap pun, berpendapat bahwa hal tersebut hanyalah sekedar soal identitas atau perluasan nasional, terlalu sering, kehilangan arti yang sesungguhnya, bahwa dorongan-dorongan keagamaan dan nasional pada hakikatnya tidak dapat di sangsikan bahwa fenomenon yang telah kita tinjau di sini ada justru karena semangat pencerahan.
Misi dan Kolonialisme
Jadi, pada umumnya, ekspansi kolonial bangsa-bangsa Protestan Barat sepenuhnya bersifat sekular. Yang cukup menarik, pada abad ke-19 ekspansi kolonial sekali lagi mendapatkan warna keagamaan dan juga dikaitkan erat dengan misi! Ada saatnya ketika penguasa dengan entusias menyambut para misionaris ke wilayah-wilayah mereka. Dari sudut pandangan pemerintah kolonial, para misionaris tersebut memang benar-benar sekutu yang ideal. Mereka hidup di antara masyarakat setempat, mengenal bahasa-bahasa mereka dan memahami kebiasaan-kebiasaan mereka. Siapakah yang lebih diperlengkapi dibandingkan dengan para misionaris ini untuk membujuk “kaum pribumi” yang tidak rela untuk tunduk kepada pax Brtitannica atau pax Teutonica? Dan, sekali para penguasa terbangun akan “tugas suci” mereka untuk mengangkat bangsa-bangsa yang “dipercayakan” kepada mereka, siapakah yang dapat menjadi pendidik, petugas-petugas kesehatan, atau instruktur-instruktur pertanian yang lebih dapat diandalkan dibandingkan dengan angakatan misionaris yang berdedikasi, asalkan pemerintah memberikan subsidi-subsidi yang memadai? Lembaga-lembaga manakah yang lebih baik dalam pengaruh budaya, politik dan ekonominya yang dapat diharapkan oleh suatu pemerintah Barat daripada para misionaris?
Oleh karena ada kebiasaan bagi para misionaris Inggris untuk bekerja di koloni-koloni Inggris, misionaris di koloni-koloni Perancis dan misionaris Jerman di kolni-koloni Jerman, snagatlah wajar kalau para misionaris ini di anggap baik sebagai barisan depan dan barisan belakang dari kekuasaan-kekuasaan kolonial.
Misi dan Milenium
Meskipun berkembang semangat kepastian tentang kdatangan millennium yang hampir segera terjadi, semua sepakat bahwa ada prasyarat-prasyarat tertentu yang harus di penuhi. Di sini termasuk, sejak hari-hari pertama kaum Puritan, unsure-unsur seperti pertobatan orang-orang Yahudi dan “jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain” dibawah ke dalam. Paling-paling , terdapat beberapa perbedaan kecil tentang persoalan mana yang harus terjadi dahulu, pertobatan orang-orang yahudi ataukah dikumpulkannya bangsa-bangsa lain dalam jumlah besar.
Sejak semula telah ada korelasi yang erat antara misi dan pengharapan-pengharapan milenial. Bukankah hanya melalui usaha misioner gereja sedunia pengetahuan tentang Kristus dapat secara universal dikukuhkan.


Semangat Sukarelawan
Namun, pada akhir abad ke-17, suatu semangat baru mulai berkembang. Prinsip Reformasi tentang hak penilaian pribadi dalam menafsirkan kitab suci dihidupkan kembali. Suatu perluasan terhadap hal ini ialah bahwa individu-individu yang sepemikiran dapat berkumpul bersama guna mengembangkan suatu panggilan bersama. Hasilnya adalah ledakan penrhimpunan-perhimpunan baru. Banyak yang berdiri dalam arus utama keagamaan dan mnegembangkan berbagai keprihatinan keagamaan dan sosial: anti perbudakan, pembaruan penjara, menghindari alcohol dan tembakau, melaksanakan Sabat, “pembaruan budi pekerti” dan usaha-usaha amal lainnya. Namun, jumlah perhimpunan baru yang kian meningkat, memperjuangkan usaha misi di luar negeri. Pada dasarnya, perhimpunan-perhimpunan ini semuanya diorganisasi berdasarkan prinsip sukarela dan tergantung pada sumbangan waktu, tenaga dan uang para anggotanya.
Ideology di balik perhimpunan-perhimpunan ini adalah ideology kesamaan sosial dan politik dari demokrasi-demokrasi yang sedang berkembang. Jaringan-jaringan dari perhimpunan-perhimpunan tambahan ditata di distrik-ditrik yang jauh, mengirimkan sumbangan-sumbangan mereka kepada kantor pusat, dan dikirm informasi dari sana. Orang-orang yang mempunyai posisi dan penghasilan yang paling sederhana menjadi penyumbang dan pendukung doa bagi proyek-proyek yang ribuan mil jauhnya. Kaum perempuan juga muncul, memainkan peranan utama di berbagai lembaga, “jauh lebih awal dibandingkan kemunculan mereka dengan layak di kebanyakkan segi kehidupan”.


Semangat Optimisme dan Pragmitisme Misioner
Di Eropa daratan suasana optimistic ini dihancurkan oleh Perang Dunia pertama. Max warren pernah menyebutkan pengalaman neraka, yang lebih pasti memisahkan Eropa daratan dari pemikiran teologis Anglo-Saxon (1961:161). Jadi di Amerika Utara, dan pada tingkat yang lebih rendah di Inggris, suasana optimistic berlanjut sampai tahun 1950-an. Dunia sedang dibangun kembali dengan penuh semangat dan gereja Kristen mempunyai peranan yang menentukan yang harus dimainkan dalam hal ini. Peningkatan minat dalam misi pada periode ini sungguh menakjubkan. Baik badan-badan misi oikumenis maupun evangelical terlibat dalam suatu skala yang tidak pernah terjadi sebelumnya, meskipun penekanan sebelumnya telah bergeser ke kerja sama dengan gereja-gereja mudah dan bukan melaksanakan secara sepihak proyek-proyek misi, pendidikan dan lain-lainnya.
   Motif Alkitabiah
Namun, teks keempat harus ditambahkan, yakni teks yang jelas paling banyak dipergunakan dalam seluruh periode yang dipercakapkan dalam bab ini “Amanat agung” dalam Matius 28:18-20. Meskipun “Amanat agung” ini juga muncul dalam ortodoks Reformasi dan Protestan, orang yang sungguh-sungguh harus dipuji karena telah menempatkannya di peta, adalah William Carey dalam traktatnya pada 1792 yang berjudul An Enquiry into the Obligations of Christian to Use Means for the Coversion of the Heathen suatu Penelitian tentang kewajiban orang Kristen untuk menggunakan sarana-sarana untuk mentobatkan orang kafir. Di situ ia, dengan bantuan argumentasi sederhana, namun sangat kuat, menghancurkan penafsiran konvesional atas Matius 28:18-20.

MOTIF-MOTIF DAN POLA-POLA MISI MODERN SEBUAH PROFIL
Kenyataannya ialah bahwa masing-maisng dari pola-pola ini sebagaimana mereka membentuk pemikiran misi sejak pertengahan abad ke-18, membuktikan ciri Pencerahan yang telah dipercakapkan sebelumnya dalam bab ini: keutamaan penalaran yang tidak diragukan, pemisahan antara subyek dan obyek, substitusi terhadap pola sebab-akibat dengan keyakinan akan maksud, keterpesonaan terhadap kemajuan, ketegangan yang tidak terpecahkan antara “kenyataan” dan “nilai”. Keyakinan bahwa setiap masalah dan teka-teki dapat dipecahkan, dan gagasan tentang individu yang otonom dan dimerdekakan.
Oleh karena semua orang adalah makhluk yang bernalar, suatu antropologi yang sangat optimistic menggantikan pandangan yang suram tentang manusia yang telah mendominasi pada masa Katolisme Abad Pertengahan dan Reformasi Protestan. Meskipun di mulut mereka mengakui “rasionalitas” setiap orang, hanya perasaan keunggulan Baratlah yang mempertahankan bahwa, dalam praktiknya, orang-orang Barat dianggap mempunyai rasionalitas yang lebih tinggi daripada yang lain-lainnya. Dalam perbandingan ini tidak ada banyak perbedaan antara kaum evangelical dan penanut Injil Sosial.

 Sumber : Bosch, David J. TRANSFORMASI MISI KRISTEN: sejarah teologi misi yang mengubah dan berubah. Jakarta : Gunung Mulia, 2012.  Diterjemahkan oleh Stephen Suleeman.



Pertanyaan:
1.      Adakah sisi positif dari Zaman Pencerahan yang dapat di ambil untuk di aktualisasikan di zaman modern seperti sekarang ini?
2.      Bisakah disamakan semangat sukarelawan di masa pencerahan dengan semangat sukarelawan di masa modern seperti sekarang ini?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar