BAB 9
MISI PADA AWAL ZAMAN PENCERAHAN
KONTUR-KONTUR PANDANGAN DUNIA
PENCERAHAN
Izinkanlah saya
sekarang berusaha dalam beberapa alinea saja dan karenanya, sekali lagi,
mengambil risiko terlalu menyederhanakan untuk menggambarkan kontur-kontur
paradigm Pencerahan sebelum melangkah lebih lanjut untuk membicarakan dampaknya
terhadap pemahaman tentang misi Kristen. Unsur-unsur yang saya identifikasikan
sesungguhnya tidak boleh dibahas secara terpisah karena mereka semuanya saling
bertabrakan. Kendatipun demikian saya (dalam gaya pencerahan sejati!) akan
membahasnya satu persatu. Pencerahan, terutama sekali, adalah Zaman penalaran.
Di kemudian hari ucapan Descartes, Cogito, ergo sum, akhirnya berarti bahwa
pikiran manusia dianggap sebagai titik tolak yang pasti untuk segala
pengetahuan. Penalaran manusia itu
“alamiah”, artinya, diperoleh dari tatanan alam dan oleh karenanya bebas dari
segala norma tradisi ataupun praduga. Penalaran mewakili suatu warisan yang
dimiliki tidak hanya oleh “orang-orang percaya” melainkan juga semua orang
merata.
Kedua, Pencerahan bekerja dengan
skema subyek obyek. Ini berarti bahwa ia memisahkan manusia dari lingkungannya
dan memampukannya untuk meneliti dunia binatang dan mineral dari sudut
pandangan obyektivitas ilmiah. Hingga pada akhirnya, Pencerahan menganggap
manusia sebagai individu yang dibebaskan dan otonom. Pada Abad Pertengahan,
paguyuban diutamakan lebih daripada individu, meskipun, seperti yang telah saya
katakana di atas, tekanan pada individu dapat ditemukan dalam teologi Barat
sekurang-kurangnya sejak masa Augustinus.
Kredo utama Pencerahan adalah iman
kepada manusia. Kemajuannya dijamin oleh persaingan bebas antar manusia yang
mengejar kebahagiannya. Manusia yang bebas dan “alamiah” dapat disempurnakan
tanpa batas dan harus diizinkan berkembang mengikuti garis-garis pilihannya
sendiri. Jadi, sejak permulaan sekali pemikiran liberal ada kecenderungan ke
arah kebebasan yang semaunya.
Individu mengalami dirinya
dibebaskan dari perwalian Allah dan gereja, yang tidak lagi dibutuhkan untuk
melegitimasikan gelar-gelar, kelas-kelas dan hak-hak istimewa tertentu. Pada
prinsipnya, tidak perlu lagi ada orang-orang dan kelas-kelas istimewa. Semua
orang dilahirkan sama dan memiliki hak-hak yang sama pula.
PENCERAHAN DAN IMAN KRISTEN
Akibat logis dari pembelajaran
ini ialah bahwa kekristenan disederhanakan menjadi sebuah provinsi dari sebuah
kerajaan yang luas dari agama. Berbagai agama semata-mata mewakili nilai-nilai
yang berbeda-beda; masing-masing adalah bagian dari mosaik yang besar. Adapun,
ajaran pencerahan bahwa semua masalah pada prinsipnya dapat dipecahkan
mempunyai dampak yang sama luasnya terhadap teologi dan gereja. Dogma ini
menolak mujizat dan setiap bentuk peristiwa yang tidak dapat diterangkan
lainnya.
Dalam mempercakapkan pengaruh
paradigma Pencerahan terhadap kehidupan manusia secara keseluruhan, bukan hanya
kehidupan keagamaan, sudah tentu juga penting kita menyadari bahwa pandangan
terhadap realitas ini tidak tetap tak berubah dan tidak ditantang pada
abad-abad belakangan ini. Pencerahan telah menciptakan masalah-masalah baru
yang tidak pernah ada sebelumnya, yang kebanyakkan baru saja mulai kita sadari
pada sekitar dua dekade terakhir ini.
MISI DI DALAM CERMINAN PENCERAHAN
Gereja dan Negara
Di daratan Eropa
peristiwa-peristiwanya berkembang dengan cara yang berbeda. Di sana pemisahan
final antara Negara dan gereja terjadi satu abad belakangan setelah di inggris,
namun ketika hal itu terjadi, konsekuensi-konsekuensinya jauh lebih luas. Revolusi
Perancis pada 1789 adalah contoh yang paling terkenal tentang perkembangan ini,
namun kejadian-kejadian serupa, meskipun kurang begitu keras, berlangsung di
Belanda dan di tempat-tempat lain. Gagasan –gagsan pencerahan, yang telah lebih
dari satu abad dikungkung, meledak ke panggung dan mengubah seluruh wajah Eropa
dalam sepuluh atau dua puluh tahun.
Pemisahan antara yang “sekuler”
dan yang “keagamaan” khususnya menonjol dalam kasus pietisme. Pietisme hanya
dapat bertahan dengan menarik diri ke kepompong rohani dan meninggalkan dunia
di luar jangkauan pelayanannya. Tekanan ini segera dialami oleh para misionaris
di Transquebar agar memusatkan perhatian mereka hanya pada jiwa-jiwa orang
india.
Kekuatan-kekuatan Pembaruan
Penilaian
Robert E Thompson (yang di kutip dalam
chaney 1976:49 dan 1977:20) bahwa kebangkitan besar “mengakhiri zaman puritan dan memulai zaman
pietis atau metodis dalam sejarah gereja amerika”, meskipun cukup sahih,
hanyalah benar secara sepihak barangkali lebih tepat bila kita menggambarkannya
sebagai campuran antara puritanisme dan pietisme yang di giling bersama-sama
dalam belanga evolusi pikiran Amerika (Allan Heimert, acuan dalam chaney
1977:20). Gerakan ini juga mewakili , dalam istilah Niebuh:; pergeseran dari
penekanan utama pada kemahakuasaan Allah kepada kasih karunia Allah
(1959:88-126).
Namun kebangkitan yang pertama
tidak secara langsung melahirkan kegiatan kegiatan misioner, meskipun gerakan
itu toh meletakan dasar-dasarnya.
Pada sekitar masa pemberitaan
kebangkitan kembali Edwars di New England, pada 1735, John Wesley (1703-1791)
dan adiknya Charles (1707-1788) di utus ke Georgia oleh SPG. Mereka tampaknya
belum mempunyai hubungan dengan gerakan kebangkitan; lebih tepatnya, pembaruan
spiritual yang di alami kedua Wesley bersaudara itu di hasilkan oleh
hubungungan-hubungan mereka dengan orang-orang Moravia. Sejak 1735 mereka,
bersama dengan George Whitefield, mengadakan kebaktian-kebaktian kebangunan di
Inggris. Dari sini berkembanglah suatu dominasi baru, metodisme. Lebih jelas
dari pada kebangkitan besar di koloni-koloni Amerika, Metodisme menyingkapkan
pengaruh pencerahan.
Kebangkitan Kedua
Terutama sekali,
suasana (mood) yang baru ini melahirkan semangat misioner. Pada tahun 1817
usaha misioner telah menjadi semangat besar gereja-gereja Amerika (chaney
1977:174). Memang, “misi-misi asing telah menjadi ortodoksi yang baru “ (J.A.
Andrew, dikutip oleh Hutchison 1987:60).
Keadaannya tidak begitu berbeda
di Inggris. Slogan carey yang terkenal, “harapkanlah hal-hal besar dari Allah,
usahakanlah hal-hal besar untuk Allah!” mengungkapkan dengan baik semangat yang
berlaku saat itu dan nyaris dapat di sangsikan bahwa pencerahan telah
memperkuat semangat ini dan menolong membawa seluruh dunia ke dalam jangkauan
injil. Tepat sebelum masa yang di bicarakan ini, James Cook telah mengelilingi
dunia. Kisahnya di baca secara luas dan ikut memperluas cakrawala orang
khususnya Carey. Banyak yang percaya bahwa, melalui penjelajahan-penjelajahan
Cook dan lain-lainnya (yang kini adalah usaha-usaha murni sekular dan
perdagangan dan tidak lagi terkait erat dengan gereja dan prnyebaran injil)
Allah dalam pemeliharaannya membuka jalan untuk misi juga.
Salah satu produk yang paling
menonjol dari kebangkitan injil, baik di inggris maupun di Amerika Utara (dan
malah juga di daratan eropa dan koloni-koloni Inggris) adalah pembentukan
perhimpunan-perhimpunan yang secara khusus di maksudkan untuk misi luar negeri.
Saya akan kepada makna teologis dan misiologis dari perhimpunan-perhimpunan
ini.
Abad Kesembilanbelas
Pada dekade keempat
dari abad ke-19, dampak Kebangkitan Besar Kedua mulai pudar. Namun, suatu
periode kebangkitan lainnya, kali ini dibawah pimpinan Charles G. Finey yang
handal (1792-1875), semata-mata berfungsi menekankan kenyataan bahwa kebangkitan-kebangkitan
tampaknya tidak ditakdirkan untuk bertahan lama; mereka semuanya kehabisan
bensin dan harus dihidupkan kembali. Keunikkan pengalaman pembaruan, yang masih
terasa dalam dua kebangkitan yang pertama, telah lenyap. Kebangkitan atau
“revival”, istilah yang semakin sering dipergunakan menjadi rutin. Mereka
merosot menjadi suatu tekhnik untuk mempertahankan Amerika yang Kristen; mereka
menjadi “cangkul ilahi yanga gung, untuk menjaga agar taman tetap bersih”
(Chaney 1976;295).
Namun, di permukaan kehidupan
gereja “arus utama” di Amerika Serikat, meskipun terjadi jurang yang kian
melebar antara Utara dan Selatan yang disebabkan oleh persoalan perbudakan,
secara teologis masih bersifat monolit. Pengalaman traumatis perang saudara
(1862-1865) kelak mengubah semua itu. Lenyapnya kebencian tidak mengantarkan
suatu zaman keemasan pemerintahan kebenaran seperti yang diramalkan oleh
sebagian orang. Kesatuan injili yang di tempa oleh Kebangkitan-kebangkitan
tersebut suatu evangelikalisme di mana “komitmen terhadap pembaruan sosial
merupakan sesuatu yang sejajar dengan entusiasme yang diwarisi untuk revival”
(Mersden 1980: 12) segera akan berantakan; “sungai evangelikalisme klasik yang
luas terpecah menjadi sebuah delta, dengan anak sungai yang lebih dangkal yang
menekankan ekumenisme dan pembaruan sosial di sebelah kiri dan ortodoksi
konfesional dan evangelikalisme di sebelah kanan” (Lovelace 1981:298). Pada
awal abad ke-20 yang pertama telah berkembang menjadi Injil Sosial, yang kedua
menjadi Fundamentalisme.
Abad Keduapuluh
Pada dekade pertama
abad ke-20, transisi dari pasca milenialisme Hervormd kepada injil sosial telah
menjadi paripurna. Dosa kini di identifikasikan dengan kebodohan dan orang
percaya bahwa pengetahuan dan belas kasihan akan menghasilkan perbaikan
sementara manusia bangkit untuk mencapai potensi-potensi mereka.
Cabang lain dari Protestantisme
“arus utama” Amerika Utara tetap berpegang pada unsur-unsur adikodrati dari
iman Kristen. Guna mempertahankannya, cabang ini semakin berpaling pra-milenialisme.
Peralihan ini bukannya tidak berhubungan dengan semangat psikologis pada masa
itu. Kehancuran akibat perang saudara dan berbagai persoalan yang
ditinggalkannya melahirkan perasaan kehilangan harapan di banyak kalangan.
Banyak orang Kristen yang tidak ikut berpegang pada optimism dan pemikiran yang
berorientasi pada kemajuan dari kaum “liberal”. Hanya kedatangan kembali
Kristus dalam kemuliaan yang dapat benar-benar mengubah kondisi-kondisi secara
dasariah dan kekal. Sebelum hal itu terjadi, dunia terkutuk untuk menjadi
semakin parah; yang terbaik yang dapat diharapkan orang adalah menahan sedikit
dari kuasa jahat itu yang tampaknya terus menyebar seperti api di padang
rumput. Dalam kalangan ini, penginjilan mendapatkan prioritas tertinggi; orang
semakin menghindarkan diri praktis dari segala bentuk keterlibatan sosial.
POLA-POLA MISIONER PADA ERA
PENCERAHAN
Saya tidak akan
berusaha melakukan pembahasan yang tuntas, tetapi semta-mata berusaha
memperlihatkan bagaimana pola-pola misioner sejak abad ke-18 berhubungan dengan
pola-pola sebelumnya. Dalam penelaan saya, saya akan memberikan lebih banyak
perhatian kepada pola-pola di dunia berbahasa inggris daripada yang ada di
daratan Eropa. Alasannya ada dua. Pertama, adalah suatu fakta sejarah bahwa
pada dua abad yang lalu dunia berbahasa inggris telah memberikan lebih banyak
misionaris non-Katolik Roma dibandingkan dengan kelompok manapun juga (Neill
1966a-261). Kenyataan ini saja membuat studi tentang misi-misi dari
Negara-negara berbahasa inggris suatu prioritas yang tinggi. Mengapa, setelah
benua Eropa tampaknya telah memimpin dalam abad ke-18, pasang naiknya berubah
dengan demikian dramatis menjelang akhir abad tersebut? Kedua, unsure-unsur
pembentuk misi-misi yang muncul dari dunia berbahasa inggris lebih di teliti
secara lebih luas daripada yang lainnya.
Kemuliaan Allah
Sebaliknya, dalam
periode yang kita telaah di sini, bertumbuhlah kesadaran bahwa inisiatif Allah
tidak menghapuskan usaha manusia dan bahwa keagungan Allah sesungguhnya adalah
sisi lain dari kasih karunia dan kasih-Nya yang menjangkau kepada umat manusia.
Jadi, pada awal Kebangkitan Besar, pola kemuliaan Allah jadinya di kawinkan
dengan pola-pola lain, khususnya pola belas kasih. Namun, begitu, bahkan di
mana kemuliaan Allah tidak disebutkan secara jelas, ia tetap merupakan pola
latar yang tersembunyi praktis di seluruh abad
ke-18.
Pada masa berikutnya pola ini
mulai memudar. Kemundurannya yang bertahap, sampai batas yang berrati,
dihubungkan dengan pengaruh Pencerahan. Cita-cita teokratis dan pemahaman
tentang kemuliaan Allah hanya dapat bekerja di dalam konteks suatu teologi yang
sangat sadar akan kesatuan kehidupan dan kekuasaan kerajaan Kristus atas
seluruh bidang kehidupan (Van den Berg
1956:185). Pencerahan menmpatkan manusia dan bukan Allah di pusatnya; semua
realitas harus dibentuk kembali sesuai dengan mimpi-mimpi dan rancangan
manusia.
“Kasih Yesus yang Menguasai
kami”?
Kadang-kadang motif
kasih dan dedikasi total ini bercampur dengan motif lainnya yakni asketisisme.
Dalam bab 7 saya mengatakan bahwa banyak dari asketisime gerakan misioner tidak
secara langsung berkaitan dengan misi; sang biarawan bermaksud untuk
menyelamatkan nyawanya sendiri dan untuk mencapai mkasud tersebut, ia akan
mmeulai sebuah biara namun, biara ini pelan-pelan dan hamper secara kebetulan,
akan berkembang menjadi sebuah pusat misi. Kadang-kadang penekanan pada
penyangkalan diri mengambil bentuk jasa-jasa perbuatan amal; suatu kehidupan
penuh dengan pengorbanan dalam misi tentu akan membuat sang misionaris lebih
diterima di mata Allah! Seperti halnya para misionaris Katolik, misionaris
protestan tidak selamanya bebas dari perasaan ini. John dan Charles Wesley,
misalnya, pertama-tama pergi ke orang-orang Indian di Georgia dengan keyakinan
bahwa karya maha hebat dan sendirian di antar orang-orang primitif ini akan
menolong kedua Wesley bersaudara itu sendiri untuk mencapai kesucian dan
kebenaran (rightheousness) sejati. Namun, ini hanyalah suatu tahap sementara
dalam hidup mereka. Keabsahan sikap mereka terletak di dalam keyakinan mereka
bahwa karya misi tidak mungkin dilakukan tanpa unsur pengorbanan, penyangkalan
diri dan kesiapan untuk menderita demi Kristus.
Injil dan Kebudayaan
Seperti halnya
dengan agama Barat ditakdirkan untuk disebarkan di seluurh dunia, demikian pula
kebudayaan Barat ditakdirkan untuk unggul terhadap semua kebudayaan lainnya.
Satu setengah abad yang lalu, G. W. F. Hegel mengemukakan pendapatnya bahwa
sejarah dunia berpindah dari Timur ke Barat, dari “masa kanak-kanak” di Cina,
melalui India, Persia, Yunani, dan Roma ke “masa kedewasaan” di Eropa Barat. Ia
menyimpulkan, “Eropa adalah tujuan mutlak sejarah, seperti halnya Asia adalah
permulaannya” (1975-197). Pemahahaman tentang “Perjalana sejarah dunia” ini
(124-151) atau tentang “basis geografis dari sejarah dunia” (152-196)
dikemukakan dengan kesungguhan yang penuh dan sama sekali tanpa rasa takut
apapun akan kontradiksi; hal ini seharusnya jelas bagi setiap orang yang
mempunyai mata untuk melihat. Kendatipun demikian, Hegel berusaha untuk mempertahankan
perasaan keadilan (fairness), dan dengan sangat terinci menelaah benua-benua
satu demi satu, mempertimbangkan kebudayaan (ketiadannnya: “Chili dan Peru
adalah wilayah-wilayah pantai yang sempit, dan mereka tidak mempunyai
kebudayaan sendiri”. “Afrika digambarkan dengan sensualitas yang padat,
kehendak yang segera, kekakuan yang mutlak, dan ketidakmampuan untuk berkembang
“ dan dalam terang temuan-temuannya yang “obyektif”, ia membuktikan keunggulan
Barat yang tidak diragukan dan yang terbukti dengan sendirinya.
Misi dan Takdir yang Pasti
Menoleh ke belakang
ke keseluruhan fenomena “takdir yang pasti” dan miis, di Amerika Utara dan
tempat-tempat lainnya, orang harus mewaspadai deduksi-deduksi yang gampangan.
Baik mereka yang menekankan (seperti yang masih dilakukan oleh sejumlah apology
misi) bahwa pemantikan api misioner itu murni bersifat religious, dan mereka
yang, dengan alasan apap pun, berpendapat bahwa hal tersebut hanyalah sekedar
soal identitas atau perluasan nasional, terlalu sering, kehilangan arti yang
sesungguhnya, bahwa dorongan-dorongan keagamaan dan nasional pada hakikatnya
tidak dapat di sangsikan bahwa fenomenon yang telah kita tinjau di sini ada
justru karena semangat pencerahan.
Misi dan Kolonialisme
Jadi, pada umumnya,
ekspansi kolonial bangsa-bangsa Protestan Barat sepenuhnya bersifat sekular.
Yang cukup menarik, pada abad ke-19 ekspansi kolonial sekali lagi mendapatkan
warna keagamaan dan juga dikaitkan erat dengan misi! Ada saatnya ketika
penguasa dengan entusias menyambut para misionaris ke wilayah-wilayah mereka.
Dari sudut pandangan pemerintah kolonial, para misionaris tersebut memang
benar-benar sekutu yang ideal. Mereka hidup di antara masyarakat setempat,
mengenal bahasa-bahasa mereka dan memahami kebiasaan-kebiasaan mereka. Siapakah
yang lebih diperlengkapi dibandingkan dengan para misionaris ini untuk membujuk
“kaum pribumi” yang tidak rela untuk tunduk kepada pax Brtitannica atau pax
Teutonica? Dan, sekali para penguasa terbangun akan “tugas suci” mereka untuk
mengangkat bangsa-bangsa yang “dipercayakan” kepada mereka, siapakah yang dapat
menjadi pendidik, petugas-petugas kesehatan, atau instruktur-instruktur
pertanian yang lebih dapat diandalkan dibandingkan dengan angakatan misionaris
yang berdedikasi, asalkan pemerintah memberikan subsidi-subsidi yang memadai?
Lembaga-lembaga manakah yang lebih baik dalam pengaruh budaya, politik dan
ekonominya yang dapat diharapkan oleh suatu pemerintah Barat daripada para
misionaris?
Oleh karena ada kebiasaan bagi
para misionaris Inggris untuk bekerja di koloni-koloni Inggris, misionaris di
koloni-koloni Perancis dan misionaris Jerman di kolni-koloni Jerman, snagatlah
wajar kalau para misionaris ini di anggap baik sebagai barisan depan dan
barisan belakang dari kekuasaan-kekuasaan kolonial.
Misi dan Milenium
Meskipun berkembang
semangat kepastian tentang kdatangan millennium yang hampir segera terjadi,
semua sepakat bahwa ada prasyarat-prasyarat tertentu yang harus di penuhi. Di
sini termasuk, sejak hari-hari pertama kaum Puritan, unsure-unsur seperti
pertobatan orang-orang Yahudi dan “jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain”
dibawah ke dalam. Paling-paling , terdapat beberapa perbedaan kecil tentang
persoalan mana yang harus terjadi dahulu, pertobatan orang-orang yahudi ataukah
dikumpulkannya bangsa-bangsa lain dalam jumlah besar.
Sejak semula telah ada korelasi
yang erat antara misi dan pengharapan-pengharapan milenial. Bukankah hanya
melalui usaha misioner gereja sedunia pengetahuan tentang Kristus dapat secara
universal dikukuhkan.
Semangat Sukarelawan
Namun, pada akhir
abad ke-17, suatu semangat baru mulai berkembang. Prinsip Reformasi tentang hak
penilaian pribadi dalam menafsirkan kitab suci dihidupkan kembali. Suatu
perluasan terhadap hal ini ialah bahwa individu-individu yang sepemikiran dapat
berkumpul bersama guna mengembangkan suatu panggilan bersama. Hasilnya adalah
ledakan penrhimpunan-perhimpunan baru. Banyak yang berdiri dalam arus utama
keagamaan dan mnegembangkan berbagai keprihatinan keagamaan dan sosial: anti perbudakan,
pembaruan penjara, menghindari alcohol dan tembakau, melaksanakan Sabat,
“pembaruan budi pekerti” dan usaha-usaha amal lainnya. Namun, jumlah
perhimpunan baru yang kian meningkat, memperjuangkan usaha misi di luar negeri.
Pada dasarnya, perhimpunan-perhimpunan ini semuanya diorganisasi berdasarkan
prinsip sukarela dan tergantung pada sumbangan waktu, tenaga dan uang para
anggotanya.
Ideology di balik
perhimpunan-perhimpunan ini adalah ideology kesamaan sosial dan politik dari
demokrasi-demokrasi yang sedang berkembang. Jaringan-jaringan dari
perhimpunan-perhimpunan tambahan ditata di distrik-ditrik yang jauh,
mengirimkan sumbangan-sumbangan mereka kepada kantor pusat, dan dikirm
informasi dari sana. Orang-orang yang mempunyai posisi dan penghasilan yang
paling sederhana menjadi penyumbang dan pendukung doa bagi proyek-proyek yang
ribuan mil jauhnya. Kaum perempuan juga muncul, memainkan peranan utama di
berbagai lembaga, “jauh lebih awal dibandingkan kemunculan mereka dengan layak
di kebanyakkan segi kehidupan”.
Semangat Optimisme dan
Pragmitisme Misioner
Di Eropa daratan
suasana optimistic ini dihancurkan oleh Perang Dunia pertama. Max warren pernah
menyebutkan pengalaman neraka, yang lebih pasti memisahkan Eropa daratan dari
pemikiran teologis Anglo-Saxon (1961:161). Jadi di Amerika Utara, dan pada
tingkat yang lebih rendah di Inggris, suasana optimistic berlanjut sampai tahun
1950-an. Dunia sedang dibangun kembali dengan penuh semangat dan gereja Kristen
mempunyai peranan yang menentukan yang harus dimainkan dalam hal ini.
Peningkatan minat dalam misi pada periode ini sungguh menakjubkan. Baik
badan-badan misi oikumenis maupun evangelical terlibat dalam suatu skala yang
tidak pernah terjadi sebelumnya, meskipun penekanan sebelumnya telah bergeser ke
kerja sama dengan gereja-gereja mudah dan bukan melaksanakan secara sepihak
proyek-proyek misi, pendidikan dan lain-lainnya.
Motif Alkitabiah
Namun, teks keempat
harus ditambahkan, yakni teks yang jelas paling banyak dipergunakan dalam
seluruh periode yang dipercakapkan dalam bab ini “Amanat agung” dalam Matius
28:18-20. Meskipun “Amanat agung” ini juga muncul dalam ortodoks Reformasi dan
Protestan, orang yang sungguh-sungguh harus dipuji karena telah menempatkannya
di peta, adalah William Carey dalam traktatnya pada 1792 yang berjudul An
Enquiry into the Obligations of Christian to Use Means for the Coversion of the
Heathen suatu Penelitian tentang kewajiban orang Kristen untuk menggunakan
sarana-sarana untuk mentobatkan orang kafir. Di situ ia, dengan bantuan
argumentasi sederhana, namun sangat kuat, menghancurkan penafsiran konvesional
atas Matius 28:18-20.
MOTIF-MOTIF DAN POLA-POLA MISI
MODERN SEBUAH PROFIL
Kenyataannya ialah
bahwa masing-maisng dari pola-pola ini sebagaimana mereka membentuk pemikiran
misi sejak pertengahan abad ke-18, membuktikan ciri Pencerahan yang telah
dipercakapkan sebelumnya dalam bab ini: keutamaan penalaran yang tidak
diragukan, pemisahan antara subyek dan obyek, substitusi terhadap pola
sebab-akibat dengan keyakinan akan maksud, keterpesonaan terhadap kemajuan,
ketegangan yang tidak terpecahkan antara “kenyataan” dan “nilai”. Keyakinan
bahwa setiap masalah dan teka-teki dapat dipecahkan, dan gagasan tentang
individu yang otonom dan dimerdekakan.
Oleh karena semua orang adalah
makhluk yang bernalar, suatu antropologi yang sangat optimistic menggantikan
pandangan yang suram tentang manusia yang telah mendominasi pada masa Katolisme
Abad Pertengahan dan Reformasi Protestan. Meskipun di mulut mereka mengakui
“rasionalitas” setiap orang, hanya perasaan keunggulan Baratlah yang
mempertahankan bahwa, dalam praktiknya, orang-orang Barat dianggap mempunyai
rasionalitas yang lebih tinggi daripada yang lain-lainnya. Dalam perbandingan
ini tidak ada banyak perbedaan antara kaum evangelical dan penanut Injil
Sosial.
Sumber : Bosch, David
J. TRANSFORMASI MISI KRISTEN: sejarah teologi misi yang mengubah dan berubah.
Jakarta : Gunung Mulia, 2012.
Diterjemahkan oleh Stephen Suleeman.
Pertanyaan:
1.
Adakah sisi positif dari Zaman Pencerahan yang dapat di
ambil untuk di aktualisasikan di zaman modern seperti sekarang ini?
2.
Bisakah disamakan semangat sukarelawan di masa pencerahan
dengan semangat sukarelawan di masa modern seperti sekarang ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar